Nama : Nurhikmah. S
NIM : 1614042005
A. Latar Belakang Filsafat Esensialisme
Secara etimologi,
esensialisme berasal dari bahasa Inggris yakni “Essential” yang berarti inti atau pokok dari sesuatu dan “Isme” berarti aliran, mazhab atau paham.
Esensialisme dikenal sebagai gerakan
pendidikan dan juga sebagai aliran filsafat pendidikan. Esensialisme adalah
pendidikan yang didasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak
awal peradaban umat manusia. Esensialisme muncul pada zaman Renaissance (zaman kelahiran kembali)
dengan ciri-ciri utama yang berbeda dengan Progresivisme, perbedaannya yang
utama ialah dalam memberikan dasar berpijak pada pendidikan yang penuh dengan
fleksibilitas, dimana terbuka untuk perubahan, toleran dan tidak ada keterkaitan
dengan doktrin tertentu. Esensialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak
pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama yang memberikan
kestabilan dan nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata yang jelas. Menurut
esensialisme, yang esensial (sesuatu yang bersifat inti atau hakikat
fundamental, atau unsur mutlak yang menentukan keberadaan sesuatu) harus
diwariskan kepada generasi muda agar dapar bertahan dari waktu ke waktu, karena
itu esensialisme tergolong Tradisionalisme.
Sekitar tahun 1930 timbul organisasi
yang bernama Essensialist Committee for
the Advancement of Education. Salah seorang tokohnya yang terkenal adalah
William C. Bagley (Imam Barnadib, 1984). Arthur K. Ellis, dkk. dalam bukunya “Introduction to The Foundation of Education”
yang terbit pada tahun 1981 mengemukakan bahwa Essensialisme berakar dari
aliran filsafat Idealisme dan Realisme. William C. Bagley (1876-1946) adalah
pemimpin gerakan Essensialisme dalam melawan gerakan Progresivisme dari John
Dewey dan W. H. Kilpatrick
Idealisme dan Realisme adalah aliran-aliran
filsafat yang membentuk corak Esensialisme, sebagaimana yang dipaparkan oleh Brameld “bahwa
esensialisme ialah aliran yang lahir dari perkawinan dua aliran dalam filsafat
yakni idealism dan realism”. Sumbangan yang diberikan oleh
masing-masing ini bersifat eklektik, artinya dua aliran filsafat ini bertemu
sebagai pendukung Esensialisme, tetapi tidak lebur menjadi satu. Berarti, tidak
melepaskan sifat-sifat utama masing-masing.
B. Prinsip-Prinsip Filosofis
1.
Hakikat Manusia
Pandangan ontologis esensialme
merupakan suatu konsepsi bahwa dunia atau realita ini dikuasai oleh tata
(order) tertentu yang mengatur dunia beserta isinya. Hal ini berarti bahwa
bagaimanapun bentuk, sifat, kehendak dan cita-cita, dan perbuatan manusia harus
disesuaikan dengan tata tersebut.
Idealisme modern mempunyai pandangan
bahwa realita adalah sama dengan substansi gagasan-gagasan (ide-ide). Di balik
dunia fenomenal ini ada jiwa yang tidak terbatas yaitu Tuhan, yang merupakan
pencipta adanya kosmos. Manusia sebagai makhluk yang berpikir berada dalam
lingkungan kekuasaan Tuhan. Dengan menguji menyelidiki ide-ide serta
gagasan-gagasannya, manusia akan dapat mencapai kebenaran, yang sumbernya
adalah Tuhan sendiri.
Realisme modern yang menjadi salah
satu eksponen esensialisme, titik berat tinjauannya adalah mengenai alam dan
dunia fisik, sedangkan idealisme modern sebagai eksponen yang lain,
pandangan-pandangannya bersifat spiritual. Manusia memiliki intelegensi ia
mampu berpikir, dan karenanya dapat menyesuaikan diri terhadap dunia
eksternalnya sehingga tetap bertahan diri dalam perjuangannya menghadapi dunia
eksternalnya.
2.
Hakikat Realitas
Sifat yang menonjol dari ontologi
esensialisme adalah suatu konsepsi bahwa dunia ini dikuasai oleh tata yang tiada
cela, yang mengatur dunia beserta isinya dengan tiada cela pula, ini berarti
bagaimanapun bentuk, sifat, kehendak dan cita-cita manusia haruslah disesuaikan
dengan tata tersebut. Dibawah ini adalah uraian mengenai penjabarannya menurut
realisme dan idealisme.
a. Realisme yang mendukung esensialisme disebut realisme
objektif karena mempunyai pandangan yang sistematis mengenai alam serta tempat
manusia didalamnya. Terutama sekali ada dua golongan ilmu pengetahuan yang
mempengaruhi realisme ini. Dari fisika dan ilmu-ilmu lain yang sejenis dapat
dipelajari bahwa tiap aspek dari alam fisik ini dapat dipahami berdasarkan
adanya tata yang jelas khusus. Ini berarti bahwa suatu kejadian yang
sederhanapun dapat ditafsirkan menurut hukum alam, seperti misalnya daya
tarik bumi.
b. Idealisme objektif mempunyai pandangan kosmos yang lebih
optimis dibandingkan dengan realisme objektif. Yang dimaksud dengan ini adalah
bahwa pandangan-pandangannya bersifat menyeluruh yang boleh dikatakan meliputi
segala sesuatu. Dengan landasan pikiran bahwa totalitas dalam alam semesta ini
pada hakikatnya adalah jiwa atau spirit, idealisme menetapkan suatu pendirian
bahwa segala sesuatu yang ada ini nyata. Ajaran-ajaran Hegel memperjelas
pandangan tersebut diatas.
3.
Hakikat Pengetahuan
a. Epistemologi Idealisme
Pandangan mengenai pengetahuan bersendikan pada pengertian
bahwa manusia adalah makhluk yang adanya merupakan refleksi dari Tuhan dan yang
timbul dari hubungan antara makrokosmos dan mikrokosmos. Karena itu, dalam diri
manusia tercermin suatu harmoni dari alam semesta, khususnya pikiran manusia (human mind). Manusia memperoleh
pengetahuan melalui berpikir, intuisi, atau introspeksi.
Kriteria kebenaran idealism yaitu pikiran atau kesadaran
adalah primodial. Sejak kehidupan ada, sejak itu pula pikiran atau kesadaran
ada. Kesadaran atau pikiran manusia bertugas membangun suatu rancangan dunia
dalam yang dianggap paling mendekati realitas luar absolut. Untuk itu, maka
logika atau penalaran menjadi penting, sebab memang logika atau penalaran itu
merupakan bagian yang sangat esensial dari realitas. Karena itu, sesuatu
pengetahuan dikatakan benar bukan karena berguna untuk memecahkan masalah atau
untuk kehidupan praktis, sebagaimana dianut progresivist, tetapi suatu pengetahuan
dikatakan benar karena ia memang benar, jadi kebenaran bersifat intrinsic,
bukan instrumental. Jadi, kebenaran merupakan perwujudan dari realitas
tertinggi. Sebab itu, uji kebenaran pengetahuan dlakukan melalui uji koherensi
atau konsistensi logis ide-idenya.
b. Epistemologi Realisme
Sumber pengetahuan menurut Realisme adalah dunia luar
subyek, pengetahuan diperoleh melalui pengalaman dria, atau pengamatan. Kita
mengetahui sesuatu jika kita mengamati atau mengalami sesuatu melalui kontak
lamgsung melalui pancaindera. Pengetahuan sudah ada di dalam realitas, manusia
tinggal menemukannya melalui pengamatan atau pengalaman. Kriteria kebenaran
menurut epistemologi realisme adalah suatu pengetahuan diakui benar jika
pengetahuan itu sesuai dengan realitas eksternal (yang objektif) dan
independen. Sebab itu, uji kebenaran pengetahuan dilakukan melalui uji
korespondensi pengetahuan dengan realitas.
4.
Hakikat Nilai (Aksiologi)
a. Aksiologi Idealisme
Para filsuf Idealisme sepakat bahwa nilai hakikatnya
diturunkan dari realitan absolut. Realitan absolut merupakan hal nyata yang
benar-benar ada yang bersifat mutlak. Karena itu nilai-nilai adalah abadi atau
tidak berubah. Dalam kehidupan sosial, kualitas spiritual seperti kesadaran
cinta bangsa dan patriotism merupakan nilai-nilai sosial yang perlu dijunjung
tinggi, dan Hegel menyimpulkan bahwa karena Negara adalah manifestasi Tuhan,
maka wajib bagi warga negara untuk setia dan menjunjung negara.
b. Aksiologi Realisme
Para filsuf realisme percaya bahwa standar nilai tingkah
laku manusia diatur oleh hukum alam, dan pada taraf yang lebih rendah diatur
melalui konvensi atau kebiasaan, adat istiadat di dalam masyarakat ( Edward J.
Power, 1982). Sejalan dengan konsep di atas, bahwa moral berasal dari adat
istiadat, kebiasaan, atau dari kebudayaan masyarakat.
C. Implikasi Pendidikan
1.
Definisi Pendidikan
Bagi penganut Essensialisme
pendidikan merupakan upaya untuk memelihara kebudayaan. Mereka percaya bahwa
pendidikan harus didasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak
awal peradaban umat manusia, sebab kebudayaan tersebut telah teruji dalam
segala zaman, kondisi dan sejarah.
Tugas pendidikan adalah mengijinkan
terbukanya realita berdasarkan susunan yang tidak terelakan (pasti) bersendikan
kesatuan spiritual. (William T. Harris, 1835-1909) maksudnya sekolah adalah
lembaga yang memelihara nilai-nilai yang telah turun-menurun, dan menjadi
penuntun penyesuaian orang kepada masyarakat.
2.
Tujuan Pendidikan
Pendidikan bertujuan untuk
mentransmisikan kebudayaan untuk menjamin solidaritas sosial dan kesejahteraan
umum (E.J. Power, 1982). Secara umum, essensialisme adalah model pendidikan
transmisi yang bertujuan untuk membiasakan siswa hidup dalam masyarakat masa
kini. Sekolah yang baik adalah sekolah yang berpusat pada masyarakat, “society centered school” , yaitu
sekolah yang mengutamakan kebutuhan dan minat masyarakat (Madjid Noor, dkk,
1987). Konsep dasar pendi dikan
esensialisme adalah bagaimana menyusun dan menerapkan program-program
esensialis di sekolah-sekolah.
Tujuan utama dari program-program
tersebut di antaranya:
a)
Sekolah-sekolah esensialis melatih
dan mendidik subjek didik untuk berkomunikasi dengan logis.
b)
Sekolah-sekolah mengajarkan dan
melatih anak-anak secara aktif tentang nilai-nilai kedisiplinan, kerja keras
dan rasa hormat kepada pihak yang berwenang atau orang yang memiliki otoritas.
c) Sekolah-sekolah memprogramkan pendidikan yang bersifat
praktis dan memberi anak-anak pengajaran yang mempersiapkannya untuk hidup.
Contoh sekolah yang mengutamakan kebutuhan dan minat
masyarakat adalah SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) karena di Sekolah Menengah
Kejuruan ini lebih mengutamakan minat dari individu.
3.
Peranan Guru
Bagi kaum Esensialis, guru
seharusnya berperan aktif dalam pembelajaran. Ia sebagai penanggung jawab,
pengatur ruangan, penyalur (transmiser) pengetahuan yang baik, penentu materi,
metode, evaluasi dan bertanggung jawab terhadap seluruh wilayah pembelajaran.
Guru juga berperan sebagai mediator
atau “jembatan” antara dunia masyarakat atau orang dewasa dengan dunia anak,
dengan demikian inisiatif dalam pendidikan ditekankan pada guru, bukan pada
peserta didik (G. kneller, 1971). Untuk menciptakan siswa yang mempunyai sikap
dan perasaan solidaritas sosial dan ikut berperan dalam mewujudkan
kesejahteraan umum. Pewarisan nilai-nilai luhur agama oleh sosok guru menjadi
titik tekan tujuan pembelajaran esensialisme, dan pembelajaran yang berisikan
warisan budaya dan sejarah dan di ikuti oleh keterampilan, sikap-sikap, dan
nilai yang tepat merupakan unsusr-unsur esensial dari sebuah kurikulum
pendidikan esensialisme.
4.
Peranan Siswa
Peranan
peserta didik adalah belajar, bukan untuk mengatur pelajaran. Belajar berarti
menerima dan mengenal dengan sungguh-sungguh nilai-nilai sosial oleh angkatan
baru yang timbul untuk ditambah dan dikurangi dan diteruskan kepada angkatan
berikutnya ( Imam Barnadib, 1984). Esensialisme merupakan suatu filsafat
yang menghendaki pendidikan bersendikan nilai-nilai yang tinggi dan menduduki
posisi substansial dalam kebudayaan. Tugas pendidikan adalah sebagai perantara
atau pembawa nilai yang ada di luar ke dalam jiwa peserta didik. Oleh karena
itu, peserta didik perlu di latih agar memiliki kemampuan observasi yang tinggi
untuk menyerap ide-ide atau nilai-nilai yang berasal dari luar dirinya
(muhaimin, 2004;40-42). Menurut esensialisme, pendidikan adalah aktivitas
pentransmisian atau pewarisan budaya dan sejarah sebagi inti pengetahuan yang
telah terkumpul dan bertahan sepanjang waktu. Warisan budaya demikian perlu di
ketahui pelestarian kebudayaan (Education
as a Cultural Convervation). Esensialisme memberikan penekanan upaya
kependidikan dalam hal pengujian ulang materi-materi kurikulum, memberikan
pembedaan-pembedaan esensial dan non esensial dalam berbagai program sekolah
dan memberikan kembali pengukuhan autoritas pendidik dalam suatu kelas di
sekolah.
5.
Kurikulum
Kurikulum (isi pendidikan)
direncanakan dan diorganisasi oleh orang dewasa atau guru sebagai wakil
masyarakat, society centered.
Kurikulum society-centered menyatakan bahwa pesanan sosial maupun interaksi
sosial harus merupakan penentu utama dalam kurikulum. Hal ini sesuai dengan
dasar filsafat Idealisme dan Realisme yang menyatakan bahwa masyarakat dan alam
(Realisme) atau masyarakat dan yang absolut (Idealisme) mempunyai peranan
menentukan bagaimana seharusnya individu (peserta didik) hidup. Kurikulum
terdiri atas berbagai mata pelajaran yang berisi ilmu pengetahuan, “agama”, dan
seni, yang dipandang esensial. Adapun sifat organisasi isi kurikulum adalah
berpusat pada mata pelajaran (subject matter centered).
6.
Metode
Dalam hal metode pendidikan,
Esensialisme menyarankan agar sekolah-sekolah mempertahankan metode-metode
tradisional yang berhubungan dengan disiplin mental, berupa metode ceramah yang
memberikan perubahan perilaku kepada siswa yang muncul dari pengalaman guru.
Metode problem solving memang ada
manfaatnya, tetapi bukan prosedur yang dapat diterapkan dalam seluruh kegiatan
belajar. Alasannya, bahwa kebanyakan
pengetahuan bersifat abstrak dan tidak dapat dipecahkan ke dalam masalah
masalah diskrit (yang berlainan). Selain itu, bahwa belajar pada dasarnya
melibatkan kerja keras, perlu menekankan disiplin (G. Kneller, 1971).
D. Tanggapan Kelompok
1.
Pendekatan Scientific dalam
Implementasi Kependidikan pada Kurikulum 2013
Bagi aliran filsafat esensialisme
guru menjadi pusat (teacher center)
dari semua situasi pembelajaran yang berlangsung, baik dalam hal pemberian
pengalaman belajar maupun kegiatan belajar mengajar dalam kelas. Guru adalah
panutan satu-satunya yang dinilai dapat mengarahkan siswa ke arah yang lebih baik.
Nilai guru dimasa lalu yaitu guru memiliki suatu kedisiplinan yang tinggi,
religius (lengket dengan agama), memiliki wibawa, bersikap jujur dan
bertanggung jawab, beretika, berjiwa besar dan memiliki etos kerja tinggi serta
mengayomi masyarakat, kemudian pada sistem pendidikannya masih lengket dengan
sistem budaya lokal.
Pada kurikulum 2013 pengajaran yang
ada telah diberi buku panduan oleh pemerintah, guru hanya mengikuti apa yang
telah tertera didalamnya, penyesuaian pengajaran juga diterapkan kembali,
karena dalam kurikulum di SD telah bersifat tematik integrative. Siswa juga
dituntut untuk lebih berperan aktif (student
center) dalam pembelajaran mengingat peran guru hanya sebagai fasilitator.
Berdasarkan hasil penelitian,
pembelajaran berbasis pendekatan ilmiah mempunyai hasil yang
lebih efektif bila dibandingkan dengan penggunaan pembelajaran
dengan pendekatan tradisional. Penelitian tersebut menunjukkan
bahwa pada pembelajaran tradisional, retensi informasi
dari guru sebesar 10 persen setelah 15 menit
dan perolehan pemahaman kontekstual sebesar 25 persen. Pada
pembelajaran berbasis pendekatan ilmiah, retensi informasi dari
guru sebesar lebih dari 90 persen
setelah dua hari dan perolehan pemahaman
kontekstual sebesar 50-70 persen.
Proses pembelajaran
dengan berbasis pendekatan ilmiah harus dipandu
dengan kaidah-kaidah pendekatan ilmiah. Pendekatan ini
bercirikan penonjolan dimensi pengamatan, penalaran,
penemuan, pengabsahan, dan penjelasan tentang
suatu kebenaran. Dengan demikian, proses
pembelajaran harus dilaksanakan dengan dipandu
nilai-nilai, prinsip-prinsip, atau kriteria ilmiah.
Berikut ini tujuh (7) kriteria
sebuah pendekatan pembelajaran dapat dikatakan sebagai pembelajaran scientific,
yaitu:
a)
Materi pembelajaran berbasis pada
fakta atau fenomena yang dapat dijelaskan dengan logika atau penalaran
tertentu, bukan sebatas kira-kira, khayalan, legenda, atau dongeng semata.
b)
Penjelasan guru, respon siswa, dan
interaksi edukatif guru-siswa terbebas dari prasangka yang serta-merta,
pemikiran subjektif, atau penalaran yang menyimpang dari alur berpikir logis.
c)
Mendorong dan menginspirasi siswa
berpikir secara kritis, analistis, dan tepat dalam mengidentifikasi, memahami,
memecahkan masalah, dan mengaplikasikan materi pembelajaran.
d)
Mendorong dan menginspirasi siswa
mampu berpikir hipotetik dalam melihat perbedaan, kesamaan, dan tautan satu
sama lain dari materi pembelajaran.
e)
Mendorong dan menginspirasi siswa
mampu memahami, menerapkan, dan mengembangkan pola berpikir yang rasional dan
objektif dalam merespon materi pembelajaran.
f)
Berbasis pada konsep, teori, dan
fakta empiris yang dapat dipertanggungjawabkan.
g)
Tujuan pembelajaran dirumuskan
secara sederhana dan jelas, namun menarik sistem penyajiannya.
Jadi sebagai kesimpulan Aliran
filsafat Esensialisme adalah suatu aliran filsafat yang menginginkan agar
manusia kembali kepada kebudayaan lama. Aliran Esensialisme ini memandang bahwa
pendidikan yang bertumpu pada dasar pandangan fleksibilitas dalam segala bentuk
dapat menjadi sumber timbulnya pandangan yang berubah-ubah, mudah goyah, kurang
terarah, tidak menentu dan kurang stabil. Tujuan pendidikan esensialisme adalah
menyampaikan warisan budaya dan sejarah melalui suatu inti pengetahuan yang
telah terhimpun, dasar bertahan sepanjang waktu untuk diketahui oleh semua
orang. Pengetahuan ini diikuti oleh keterampilan, sikap, dan nilai-nilai yang
tepat untuk membentuk unsur-unsur yang inti (esensiliasme), sebuah pendidikan
sehingga pendidikan, jadi Menurut esensialisme
sekolah berfungsi untuk warga negara supaya hidup sesuai dengan prinsip-prinsip
dan lembaga-lembaga sosial yang ada di dalam masyarakat.
Komentar
Posting Komentar